Kisah Purwanto dari Turus Purworejo Lawan Tumor Batang Otak

Di sebuah dusun yang ditenun dari ketenangan dan cahaya pagi, di antara sawah yang berbicara dalam desir angin dan jalan setapak yang mengingat setiap jejak penghuninya, berdirilah Desa Turus, sebuah perkampungan sederhana di Purworejo. Di sanalah hidup seorang anak bernama Purwanto, bocah tabah yang usianya baru belasan tahun, namun jiwanya seolah telah menua oleh ujian kehidupan.
Tubuh kecilnya menggenggam hidup erat-erat di tengah badai sunyi yang bernama tumor batang otak. Penyakit itu datang seperti malam yang tak memberi tanda, membawa gelap ke dalam hari-hari yang sebelumnya riang. Di sisi Purwanto, seorang ayah berdiri teguh. Ia bukan seorang pahlawan dengan jubah atau pedang, melainkan pelindung dalam diam, penyemangat dalam letih, dan imam dalam sujud panjang yang lirih.
Setiap malam ia bangun lebih awal dari fajar, melantunkan doa-doa panjang untuk anak yang ia cintai. Dalam pelukannya tak ada janji manis, hanya keikhlasan. Dalam langkahnya tak ada sorotan kamera, hanya keteguhan seorang bapak yang menolak menyerah pada takdir, betapa pun kelamnya.Mereka bukan tokoh dalam roman agung, bukan pula nama-nama besar yang dikenal sejarah. Namun tiap langkah mereka adalah puisi kehidupan itu sendiri: tentang luka yang tak pernah diminta hadir, tentang harapan yang tak sudi pergi.
Dan justru karena itulah kisah mereka begitu berharga karena nyata, karena manusiawi, karena seperti kita.Lima bulan sudah, tubuh kecil Purwanto diayun dari desa ke kota. Bukan untuk rekreasi atau pelesiran seperti anak-anak lainnya, melainkan untuk perjuangan yang tidak mudah dibayangkan oleh sebagian besar orang: pengobatan dan perawatan intensif di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Rumah sakit itu kini menjadi dermaga harapan, tempat sang anak dan ayah menambatkan ikhtiar dan doa.Dan dalam perjalanan panjang itu, ada satu nama yang senantiasa hadir: Yayasan Embun Surga. Ambulans mereka bukan hanya sekadar kendaraan pengantar pasien. Ia adalah perahu kasih yang setia menjemput dan mengantar Purwanto dari desa terpencil ke kota besar. Tanpa bayaran. Tanpa keluhan. Hanya cinta.Dalam ayunan suspensi mobil ambulans itu, terguncang pula hati-hati yang ikut serta: relawan-relawan yang memilih hadir tak hanya sebagai sopir atau pendamping medis, tetapi sebagai keluarga sementara. Mereka membawa bukan hanya alat medis, tapi juga pelukan, senyum, dan harapan. Dalam diam mereka membaca zikir, dalam peluh mereka menabur cinta.

Allah berfirman: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”(QS. Al-Insyirah: 6)
Dan Rasulullah SAW pun menguatkan jiwa kita: “Tiada seorang Muslim tertimpa suatu penyakit, melainkan Allah akan menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.”(HR. Bukhari & Muslim)
Maka demikianlah, gugurlah dosa-dosa kecil itu seiring derita. Daun-daun yang luruh di musim sabar, seperti guguran air mata yang jatuh namun menghidupkan ladang-ladang pahala. Tidak ada penderitaan yang sia-sia. Tidak ada air mata yang luput dari perhatian Tuhan.Setiap langkah kaki kecil Purwanto adalah sajak ketabahan. Setiap genggaman tangan ayahnya adalah bait doa yang tak putus mengalir seperti sungai yang tahu ke mana harus kembali. Dan setiap tetes keringat relawan, setiap jam yang mereka habiskan untuk menemani perjalanan panjang itu, adalah ayat-ayat cinta yang tak tercatat di buku manapun, tapi dihitung di langit.
Embun Surga bukan sekadar yayasan. Ia adalah rumah bagi jiwa-jiwa yang sedang terluka, pelita bagi yang nyaris padam, jembatan bagi mereka yang tertatih menuju harapan. Tak terhitung doa yang dititipkan melalui para relawan: doa dari anak-anak yang sedang berjuang dengan penyakit langka, dari ibu-ibu yang nyaris putus asa, dari ayah-ayah yang menahan air mata agar tetap bisa menguatkan keluarga.
Setiap donatur yang menitipkan sebagian rezekinya bukan hanya menyumbang angka. Mereka menyumbang waktu hidup. Karena apa yang mereka beri telah mengubah hari-hari gelap menjadi sedikit lebih terang. Mereka mungkin tak pernah bertemu dengan Purwanto, tak tahu wajah ayahnya, bahkan tak tahu bentuk jalan dari Turus ke Yogyakarta. Namun mereka percaya, bahwa memberi bukan soal melihat langsung hasilnya, tetapi soal meyakini bahwa kebaikan akan selalu menemukan jalannya sendiri.Untuk Anda yang telah menjadi bagian dari kisah ini: terima kasih.
Bukan hanya uang yang Anda dermakan, melainkan sepotong cahaya yang kini menghiasi hari-hari gelap mereka. Karena setiap bunga yang tumbuh dari luka,selalu butuh matahari lain untuk mekar.Kami mengajak Anda semua untuk tidak berhenti di sini. Mari terus bersama mereka. Dalam sabar, dalam doa, dalam cinta yang tak kasat mata. Karena bisa jadi, kitalah tangan yang Allah pilih untuk mengusap air mata hamba-Nya.
Karena bisa jadi, senyum kecil yang nanti tumbuh di wajah Purwanto, adalah hasil dari sedekah kecil yang Anda titipkan hari ini.Dan mungkin, pada suatu hari nanti, ketika kita sendiri membutuhkan uluran tangan, Allah akan mengirimkan seseorang yang tak kita kenal, namun punya cinta yang sama besar untuk membantu kita, sebagaimana kita pernah membantu mereka.Jika Anda ingin menjadi bagian dari perjalanan harapan ini,jika Anda ingin ambulans berikutnya kembali menjemput seorang anak dari desa terpencil,maka tangan Anda bisa menjadi kunci.
Donasi Anda bisa menjadi ambulance harapan berikutnya.
BRI 685201002390503a.n. Yayasan Embun Surga Purworejo
0 Komentar