Edukasi Lalu Lintas Ambulans di Jalanan

Sore yang mendung di Purworejo kadang terasa lebih sendu dari biasanya, apalagi saat suara sirine terdengar samar-samar, terjebak di antara dentuman klakson dan gerak malas kendaraan yang enggan minggir. Sebuah ambulans dari Yayasan Embun Surga berisi harap dan hidup tertahan di lampu merah, di jalan yang tak lagi ramah.
“Kadang orang liatin doang, tapi nggak ngasih jalan…” ujar seorang sopir ambulans pelan, nyaris seperti bergumam pada dirinya sendiri. Ia bukan sedang mengeluh, hanya jujur. Ia tahu betul waktu adalah nyawa.
Purworejo, kota kecil yang tak pernah benar-benar tidur, menyimpan dinamika lalu lintas yang tak bisa diremehkan. Apalagi ketika jam pulang kantor tiba, atau ketika pasar tradisional baru saja tutup. Di jalanan utama, ambulans sering menjadi kendaraan yang paling tak dimengerti padahal seharusnya paling diprioritaskan.
Seringkali relawan Embun Surga menemui hal yang memilukan. Sirine sudah meraung, lampu strobo menyala, namun kendaraan-kendaraan di depan tak bergeming. Ada yang tetap sibuk dengan gawainya, ada yang malah mendahului dari sisi kanan seolah berpacu, dan ada pula yang melongo melihat ambulans lewat, tapi tak bergeming sedikit pun.
Padahal, mereka tak sedang membawa mayat. Mereka membawa hidup. Seorang anak yang demam kejang. Seorang bapak yang mendadak tak bisa bicara. Seorang ibu yang baru saja selesai kemoterapi dan butuh istirahat di rumah secepatnya.
✓ Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan dengan jelas bahwa ambulans termasuk dalam tujuh jenis kendaraan yang harus diprioritaskan.
✓ Pasal 134 menyatakan “Kendaraan yang mendapat hak utama adalah kendaraan pemadam kebakaran, ambulans, kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas, kendaraan pimpinan lembaga negara, dan sebagainya.” Namun, betapa sering hukum hanya menjadi teks di atas kertas.
✓ Pasal 135 pun menambahkan “Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.”
Padahal, mayoritas ambulans sosial seperti yang dimiliki Yayasan Embun Surga tidak selalu mendapat pengawalan polisi. Tapi sirine dan lampu itu tetap sah sebagai isyarat darurat. Sayangnya, masyarakat tidak banyak yang tahu.
“Nggak ada yang lebih menegangkan daripada bawa pasien stroke ke RS Sardjito, tapi ambulans harus ngerem mendadak karena motor motong dari kanan…” kata Pak Dendy, salah satu sopir yang sudah lima tahun mendampingi pasien.
Ia mengenal jalan seperti mengenal garis tangannya sendiri. Ia tahu kapan harus menyela, kapan harus sabar. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan saat masyarakat sendiri belum punya budaya memberi jalan.Di rumah singgah Embun Surga, cerita seperti ini bukan hal baru. Kadang pasien datang sambil menangis karena perjalanan pulang dari rumah sakit begitu melelahkan. Tidak hanya fisik mereka yang lelah, tapi mental mereka pun runtuh karena merasa diabaikan di tengah perjalanan hidup dan mati.
Menjadi sopir ambulans di Embun Surga bukan hanya tentang menyetir. Mereka juga mendengar keluh. Menghibur. Menenangkan. Kadang mereka ikut menggantikan popok, mengangkat badan pasien yang beratnya melebihi kapasitas pikiran. Di tengah hiruk-pikuk jalan, mereka harus tetap tenang.
“Kami ini relawan, bukan supir biasa. Kami bawa harapan di kursi belakang…”Kadang, di sela-sela macet, mereka bicara pelan pada pasien yang mulai panik, “Tenang, Bu. Kita hampir sampai…” padahal mereka tahu, jalan di depan masih padat.
Kita belajar membaca, menulis, bahkan menggunakan gawai sejak dini. Tapi tak banyak dari kita yang benar-benar diajarkan bagaimana bersikap saat mendengar sirine ambulans? Kapan harus menepi? Apakah harus berhenti total? Bagaimana jika jalan sempit?Edukasi ini tidak masuk dalam kurikulum, tidak pula diulang di televisi atau baliho. Padahal, itu soal hidup. Bukan sekadar soal aturan.
Lalu bagaimana kita mengubahnya?
✓ Sosialisasi berkala lewat media sosial lokal Kampanye dari mulut ke mulut oleh tokoh masyarakat
✓ Materi di sekolah dan pelatihan SIM yang benar-benar menyentuh aspek etis
✓ Kolaborasi antar lembaga kesehatan dan Dishub
✓ Budaya Memberi Jalan
Antara simpati dan realita sebagian masyarakat sebenarnya ingin menolong, tapi bingung. Ada yang takut melanggar marka. Ada yang panik dan malah menghentikan kendaraan di tengah jalan. Edukasi bukan hanya soal tahu, tapi juga soal terbiasa.
Ketika kebiasaan membudaya, maka memberikan jalan tak lagi menjadi instruksi, tapi refleks empati.
“Yang bikin sedih, kadang yang motong ambulans justru anak muda. Padahal mereka ini harapan kita…” kata Bu Ani, salah satu pendamping pasien.Ia pernah menemani seorang pasien kanker payudara yang menahan nyeri selama 3 jam di perjalanan karena macet dan kendaraan yang enggan minggir. “Rasanya seperti dihina dalam sunyi…” katanya pelan.
Cerita dari jalanan Purworejo, di perempatan Grantung, satu dari banyak titik padat di Purworejo, ambulans kadang seperti kapal terombang di tengah lautan mobil dan motor.Ada satu sore ketika sopir ambulans harus turun dari mobil, mengetuk kaca kendaraan depan satu-satu, sambil bilang “Mas, mohon beri jalan. Kami bawa pasien darurat…”Beberapa menoleh kikuk. Beberapa malah memarahi balik. Tapi ada juga yang langsung buka jalan. Harapan itu masih ada. Meski kecil, ia tetap hidup.
Ketika hukum ditegakkan dengan hati boleh jadi kita tak selalu ingat pasal demi pasal. Tapi kita pasti mengerti rasa. Rasa sakit. Rasa takut. Rasa ingin cepat sampai ketika yang kita sayang sedang sekarat.
Jika satu orang menepi, yang lain ikut. Jika satu sopir memberi jalan, yang lain sadar. “Sirine itu bukan suara nyaring. Ia suara tolong.” ujar seorang relawan .Dan tolong tak boleh ditunda.
Yayasan Embun Surga tidak pernah meminta dibayar tinggi. Tapi mereka berharap masyarakat mengerti. Karena dalam satu hari, bisa tiga hingga lima ambulans diberangkatkan ke luar kota. Menuju Jogja. Menuju Magelang. Menuju harapan. “Kami bukan siapa-siapa, tapi kami ingin jadi jalan pulang bagi orang yang sedang berjuang. ”Dan untuk itu, kita hanya perlu satu hal kesadaran. Maka lain kali kau dengar sirine dari kejauhan, jangan tanya itu ambulans siapa, dari rumah sakit mana, atau bawa siapa. Cukup tanya pada hatimu, jika itu ibuku di dalam sana, apa aku akan memberi jalan?
Sumber Referensi
UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan daihatsu.co.id Undang-Undang Ambulans
Wawancara dengan relawan Embun Surga, https://youtube.com/shorts/YFdbuf4-tXg?si=m7K3eLfwNoavM97F
0 Komentar