Ambulans Pertama di Indonesia: Dari Derap Kuda hingga Deru Sirine

Dipublikasikan oleh Mely Ana pada

ambulans Embun Surga

Ada suara yang tak pernah bohong; sirine ambulans. Ia meraung bukan sekadar bunyi, tapi penanda bahwa ada nyawa yang tengah menanti. Di jalanan, ia menjadi pengecualian; di hati, ia menjelma harapan. Tapi dari mana asalnya? Bagaimana kisah kendaraan penyelamat ini pertama kali mengaspal di tanah Nusantara?

Mari kita tilik, dari fragmen sejarah yang barangkali terlewatkan. Ini bukan sekadar soal mesin dan roda, tapi soal manusia, cinta, dan ikhtiar (usaha) menyelamatkan.

• Jejak Kolonial dan Ambulans Pertama

Ambulans pertama di Indonesia hadir tak lepas dari jejak kolonialisme. Menurut arsip Stichting Medisch Historisch Archief (Belanda), layanan medis darurat di Hindia Belanda dimulai pada awal abad ke-20. Kala itu, rumah sakit seperti Cipto Mangunkusumo di Batavia (Jakarta) dan RS Simpang di Surabaya menjadi pionir layanan gawat darurat.

Namun, ambulans bermesin? Itu baru muncul sekitar tahun 1930-an. Sebelumnya, pasien dibawa dengan tandu atau kereta kuda. Terdengar primitif untuk masa kini, tapi kala itu, sudah menjadi kemewahan tersendiri.

“Saya masih kecil waktu pertama kali lihat kereta kuda bawa orang luka. Mereka teriak-teriak di jalan. Nggak ada yang tahu itu ambulans,” kenang Pak Wiryo, warga Semarang berusia 94 tahun, kepada Kompas Historia (2021).

Ambulans pertama bermesin yang dikenal dengan nama motorized ambulance dibawa langsung dari Eropa oleh tentara Belanda. Kendaraan itu digunakan khusus untuk tentara yang terluka saat konflik lokal maupun latihan militer. Bentuknya mirip mobil kotak, dengan tandu sederhana di dalamnya.

• Pasca Kemerdekaan: PMI dan Semangat Kemanusiaan

Setelah proklamasi 1945, Indonesia mulai membangun sistem kesehatannya sendiri. Palang Merah Indonesia (PMI) menjadi lembaga pertama yang menginisiasi layanan ambulans. Mobil tua sisa perang diubah fungsinya, dan digunakan untuk membawa korban konflik, bencana, atau melahirkan.

Menurut situs resmi PMI (https://pmi.or.id), layanan ambulans pertama kali diluncurkan secara nasional pada awal 1950-an, dengan markas di Jakarta dan Surabaya. Mobil ambulans tersebut masih sangat terbatas jumlahnya, dan hanya melayani kebutuhan mendesak.

“Kami harus rela antre berjam-jam demi giliran pakai ambulans. Dulu itu barang langka, Mas,” ujar Bu Sumarni, mantan relawan PMI, dalam wawancara dokumenter Darah dan Darurat (TVRI, 1999).

Tak ada AC, tak ada GPS. Hanya sopir, tandu, dan doa. Tapi itu cukup untuk menyelamatkan satu nyawa. Bahkan lebih.

• Ambulans dan Budaya Lokal

Di beberapa daerah, ambulans sempat dianggap keramat. Di Jawa, ada kepercayaan bahwa mobil pembawa orang sekarat harus dijalankan pelan agar tidak membawa roh buruk. Di Makassar, masyarakat menyebutnya mobil mati karena lebih sering membawa jenazah daripada pasien hidup.

Namun persepsi itu berubah perlahan. Berkat edukasi, tokoh agama, dan siaran radio, masyarakat mulai mengerti bahwa ambulans bukan pembawa maut, tapi jembatan antara hidup dan kesempatan kedua.

“Ambulans itu kendaraan langit. Ia datang ketika bumi sudah tak bisa lagi menolong,” kata Ustadz Mahfudz dalam ceramahnya di Masjid Al-Falah, tahun 1983.

• Evolusi Teknologi dan Ambulans Modern

Masuk tahun 1980-an, pemerintah mulai mengimpor ambulans dari Jepang dan Jerman. Mobil-mobil ini lebih lengkap: ada oksigen, alat bantu napas, dan ruang gerak untuk tenaga medis. Beberapa rumah sakit besar bahkan mulai menyiapkan kru medis khusus.

Menurut Kementerian Kesehatan RI, tahun 1992 menjadi tonggak penting karena mulai diberlakukan standar operasional nasional untuk layanan ambulans. Sejak saat itu, ambulans bukan lagi sekadar mobil, tapi sistem.

Mulai ada pelatihan untuk sopir ambulans, peraturan tentang sirine, dan bahkan regulasi hak prioritas di jalan raya.

“Tugas saya bukan cuma nyetir. Tapi nyawa. Setiap detik bisa jadi perbedaan antara hidup dan wafat,” kata Pak Heri, sopir ambulans Yayasan Embun Surga di Purworejo.

• Ambulans Sosial dan Misi Kemanusiaan

Era reformasi membuka ruang bagi masyarakat sipil untuk ambil bagian. Hadirlah ambulans-ambulans milik yayasan sosial, masjid, hingga komunitas motor. Mereka bergerak tanpa tarif, tanpa syarat, hanya demi kemanusiaan.

Di Purworejo, Yayasan Embun Surga jadi pelopor. Dengan sopir-sopir seperti Pak Imam dan Mas Devin, mereka mengantar pasien kanker dari pelosok desa ke rumah sakit di Jogja dan Magelang. Tanpa pungutan. Tanpa pamrih.

” Kadang saya bawa jenazah tengah malam. Kadang bawa bayi yang baru lahir. Tapi semuanya sama: harus cepat, harus selamat,” ujar Mas Sidiq, sopir muda yang sudah hafal jalanan sampai pelosok.

• Ambulans Hari Ini dan Tantangan yang Datang

Hari ini, ambulans sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kesehatan. Di kota besar, ambulans bahkan dilengkapi dengan ICU mini. Di desa, mobil ambulans jadi tumpuan satu-satunya.

Namun tantangan tetap ada:

1. Kurangnya kesadaran pengguna jalan memberi jalan

2. Minimnya jumlah ambulans di daerah

3. Biaya operasional yang tinggi

Tetapi di balik semua itu, ada semangat yang tak pernah padam. Ambulans tetaplah simbol harapan.

“Selama masih ada orang sakit yang butuh diantar, saya akan tetap nyetir. Sampai tua, sampai tak kuat,” kata Pak Dendy, sembari mengecek ban kendaraannya.

• Sirine Itu Doa, Roda Itu Ikrar

Dari tandu kayu kolonial hingga mobil ICU modern, ambulans telah menjadi saksi perubahan zaman. Ia bukan sekadar kendaraan. Ia adalah ikrar, bahwa tak ada satu pun nyawa yang tak layak diperjuangkan.

Dan jika kau dengar suara sirine di kejauhan, jangan hanya tutup telinga. Bukalah hatimu. Karena bisa jadi, yang tengah melaju itu adalah takdir, berwujud roda dan mesin, bernama ambulans.

Kategori: Blog

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *