Menjadi Pendamping Harapan, Kisah Sunyi dari Jalanan Purworejo

Dipublikasikan oleh Mely Ana pada

Relawan dan keluarga besar Yayasan Embun Surga Purworejo berfoto bersama saat peringatan Hari Kanker Sedunia 2025.
Relawan dan keluarga besar Yayasan Embun Surga Purworejo berfoto bersama saat peringatan Hari Kanker Sedunia 2025.

Di ujung jalan yang berdebu di pelosok Purworejo, ada langkah-langkah kecil yang tak selalu terdengar, tapi memberi gema di hati banyak orang. Langkah itu milik para pendamping pasien. Mereka bukan dokter, bukan perawat, bukan pula tokoh publik yang wajahnya terpampang di media. Tapi lewat tangan merekalah, banyak pasien bisa sampai ke rumah sakit. Lewat pelukan merekalah, banyak hati yang semula rapuh bisa kembali percaya bahwa harapan itu nyata.Kami menyebut mereka Pekerja Sosial Kemanusiaan (PSK), sebutan yang sederhana tapi sarat makna. Mereka bukan sekadar relawan. Mereka adalah sahabat seperjalanan, saksi bisu di balik ruang tunggu rumah sakit, penghapus peluh di kursi ambulans, dan penyulam doa dalam diam.

Menariknya, sebagian besar dari mereka adalah para penyintas. Dulu mereka duduk sebagai pasien; kini berdiri sebagai pendamping. Luka yang pernah mereka bawa kini menjelma cahaya yang menerangi jalan orang lain.

Dari Luka, Mereka Belajar Cinta

Relawan dan pendamping pasien Yayasan Embun Surga Purworejo saat pemberangkatan pasien.

Setiap pendamping punya cerita yang tak mereka tuliskan di media sosial. Tapi kalau kau duduk cukup lama di Rumah Singgah Embun Surga, dan mendengarkan dengan hatimu, kau akan tahu: mereka datang bukan karena punya banyak waktu, tapi karena hatinya tak bisa tinggal diam saat melihat penderitaan yang dulu pernah mereka rasakan sendiri.

Dulu, mereka juga pernah menggigil di ruang IGD. Pernah menangis diam-diam di pojok kamar rumah sakit. Pernah merasa putus asa karena tak tahu harus pinjam uang ke siapa demi ongkos ke Jogja. Tapi sekarang, mereka memilih untuk kembali, bukan untuk menagih balas budi, tapi untuk mengulurkan tangan.Karena bagi mereka, menjadi sembuh saja belum cukup. Menjadi berguna adalah bagian dari kesembuhan itu sendiri.

Pendampingan: Lebih dari Sekadar Menemani

Banyak yang mengira pendamping hanya sekadar menemani pasien kontrol atau mengurus administrasi rumah sakit. Tapi nyatanya, pekerjaan ini jauh lebih dalam. Mereka adalah pelipur lara di tengah kecemasan, teman berbagi ketika tubuh tak sanggup bicara, dan tempat bersandar saat dunia terasa terlalu berat.

Ada yang rela berangkat sebelum matahari terbit, mengantarkan pasien dari pelosok desa menggunakan ambulans gratis. Ada yang menunggu berjam-jam di rumah sakit, hanya untuk memastikan pasien tidak sendirian. Bahkan ada yang tetap tersenyum meski hari itu perutnya belum sempat diisi.

Mereka tak pernah menghitung jam kerja, tak meminta honor, dan tak mengeluh meski tubuh lelah. Karena bagi mereka, satu senyum dari pasien lebih dari cukup sebagai upah. Satu ucapan “terima kasih” adalah doa yang tak bisa dibeli oleh gaji sebesar apa pun.

Rumah Singgah: Tempat Mereka Bertumbuh

Di Rumah Singgah Embun Surga, mereka bukan hanya singgah secara fisik, tapi juga secara batin. Di tempat sederhana ini, para pendamping belajar sabar, belajar ikhlas, belajar kembali menyulam hidup. Di sinilah mereka menyeduh kopi sambil menyeka air mata pasien. Di sinilah mereka saling menguatkan, saling menukar cerita, saling menambal luka yang mungkin masih bersisa.

Kadang mereka tertawa bersama di ruang makan kecil. Kadang mereka mengantar pasien kontrol lalu kembali ke rumah singgah larut malam. Rumah ini adalah titik temu: antara masa lalu dan masa kini, antara penderitaan dan pengabdian.

Dari Purworejo ke Jogja: Perjalanan yang Penuh Doa

Tak terhitung berapa kali mereka bolak-balik Purworejo–Yogyakarta. Dengan ambulans yayasan, mereka menempuh perjalanan jauh, menyusuri jalan sempit, menembus hujan dan panas, demi satu tujuan: memastikan pasien sampai dengan selamat dan tidak merasa sendiri.Dalam ambulans itulah, percakapan paling jujur sering terjadi. Di ruang kecil penuh keterbatasan itu, banyak pasien mencurahkan isi hati. Banyak doa dilantunkan diam-diam. Dan para pendamping, dengan sabar, menjadi telinga yang tak menghakimi.

Ambulans itu bukan sekadar kendaraan. Ia adalah ruang ibadah sunyi, tempat cinta bekerja tanpa suara.

Tanpa Gelar, Tapi Penuh Makna

Mereka tak memakai jas putih. Tak menyandang gelar akademik tinggi. Tapi mereka tahu cara memijat tangan yang gemetar karena kemoterapi. Mereka tahu kapan harus diam, dan kapan harus berbicara pelan. Mereka bisa mengenali ketakutan dalam mata pasien, bahkan sebelum kata-kata diucapkan.Karena mereka pernah berada di posisi itu. Mereka tahu rasanya didiagnosis. Tahu rasanya menunggu hasil laboratorium. Tahu rasanya tidur di kursi ruang tunggu karena tak punya biaya sewa penginapan.Dan justru karena itu, mereka hadir bukan dengan rasa iba, tapi dengan pengertian yang dalam.

Mereka Tidak Hebat, Tapi Tulus

Jika kau tanya pada mereka, apa alasan terus mendampingi pasien tanpa dibayar? Mereka akan menjawab: “Karena saya tahu rasanya tak punya siapa-siapa.”Tak ada kata heroik dalam hidup mereka. Tapi justru dalam kesederhanaan itulah, kita melihat keindahan paling hakiki: tentang manusia yang saling menopang, bukan karena diwajibkan, tapi karena tergerak oleh kasih.

Cinta yang Tidak Butuh Sorotan

Banyak dari mereka tak dikenal publik. Tak punya banyak pengikut media sosial. Tapi saat pasien sembuh dan pulang, mereka sering disebut dalam doa yang lirih. Kadang hanya dengan sebaris kalimat: “Semoga orang yang mendampingi saya hari ini selalu diberi kesehatan.”

Dan itu cukup. Karena bagi mereka, pengakuan bukanlah tujuan. Kehadiran yang berarti jauh lebih penting dari pujian yang kosong.

Kesembuhan Tak Selalu Soal Medis

Bagi banyak pasien, pendamping adalah bagian dari proses penyembuhan. Karena luka fisik bisa ditangani dokter, tapi luka batin? Hanya bisa disembuhkan dengan cinta dan kehadiran.

Ada pasien yang kehilangan semangat hidup, tapi kembali tersenyum karena didampingi seseorang yang mengerti. Ada yang merasa tak berharga, tapi mulai percaya diri lagi karena terus didukung dan dimotivasi.

Pendamping bukan hanya menemani perjalanan medis, tapi juga menjadi sahabat spiritual dan emosional. Menjadi jembatan antara kehampaan dan harapan.

Menjadi Cahaya di Tengah Gelap

Dalam dunia yang penuh dengan kompetisi dan kepentingan, keberadaan mereka adalah pengingat bahwa cinta masih ada. Bahwa orang-orang baik masih berjalan di bumi ini, diam-diam, tanpa pamrih.Mereka yang bangun pagi-pagi bukan untuk mencari keuntungan, tapi untuk menemani pasien yang tidak tahu harus berpegangan pada siapa. Mereka yang pulang larut malam, bukan karena lembur, tapi karena pasien harus kontrol malam itu.Dan semua itu dilakukan dengan satu tujuan: agar tak ada lagi orang yang berjuang sendirian.

Jika hari ini kau merasa dunia terlalu keras, mungkin kau perlu duduk sejenak di Rumah Singgah Embun Surga. Dengarkan tawa para pendamping yang pernah melewati malam-malam terkelam. Rasakan tangan mereka saat menyambut pasien baru. Amati mata mereka yang penuh pengertian, bukan karena pernah belajar psikologi, tapi karena pernah menangis di tempat yang sama.

Mereka adalah wajah kemanusiaan yang tak dicetak di buku sejarah. Tapi setiap langkah mereka menciptakan riwayat baru: tentang bagaimana cinta bisa menyembuhkan lebih dari obat mana pun.

Dan jika kamu bertanya, “Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?”Jawabannya sederhana: datanglah, temani, dengarkan. Atau jika kau tak sempat, bantu biaya operasional ambulans, penginapan pasien, atau kebutuhan rumah singgah. Setiap rupiah bisa menjadi pelita bagi langkah-langkah yang terus berjalan di bawah cahaya pengabdian.

Karena sesungguhnya, dalam hidup ini, kita semua hanya sedang saling mendampingi.

“Barangsiapa meringankan satu kesulitan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan meringankan darinya satu kesulitan pada hari kiamat.”(HR. Muslim)

Yayasan Embun Surga Purworejo membuka ruang bagi siapa pun yang ingin menjadi bagian dari gerakan cinta ini. Mari hadir, meski hanya sekali. Karena kadang, satu kehadiran bisa mengubah hidup seseorang.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *