Dari Pasien Kanker Menuju Pendamping Harapan di Purworejo

Dipublikasikan oleh Mely Ana pada

Di ujung jalan kecil di Purworejo, ada sebuah rumah singgah yang menjadi tempat pulang bagi mereka yang sedang berjuang melawan penyakit. Di dalamnya, kita bisa mendengar suara langkah kaki, bukan hanya milik pasien, tapi juga relawan yang memilih berjalan bersama mereka. Salah satunya adalah Bu Suyatmi seorang ibu yang dulu duduk sebagai pasien, kini berdiri sebagai pendamping harapan.

“Kalau Allah berkenan memberi saya kesembuhan, saya ingin kembali… bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk membantu sesama yang sedang berjuang seperti saya dulu,” ucapnya suatu kali dengan mata berkaca.

Cerita Bu Suyatmi bukan sekadar tentang sembuh dari kanker payudara. Ia adalah kisah tentang bagaimana luka bisa menjadi jalan menuju cahaya. Tentang bagaimana sakit, yang semula membuatnya hampir menyerah, kini justru menjadi sumber kekuatan yang menggerakkannya untuk peduli.

Bu Suyatmi dulu adalah pasien kanker payudara yang harus rutin berobat ke RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jarak yang jauh dari Purworejo ditambah biaya transportasi yang besar menjadi tantangan utama. Meski BPJS menanggung biaya pengobatan, ongkos perjalanan tetap harus ditanggung sendiri.

“Sekali jalan bisa habis ratusan ribu. Kalau sebulan harus tiga sampai empat kali, bisa jutaan rupiah cuma untuk ongkos,” kenangnya.

Dalam kondisi sakit dan ekonomi keluarga yang sedang sulit, apalagi dengan anak bungsu yang masih kecil, ia sempat merasa sangat terpuruk. Tak jarang ia menangis diam-diam, bahkan pernah berkata pada suaminya untuk bersiap menjadi orang tua tunggal.

Namun, pelan-pelan, ia mulai bangkit. Ia mengonsumsi kunyit putih untuk menambah kekebalan, memaksa dirinya tetap kuat. Di tengah kerapuhan itulah, ia dipertemukan dengan Yayasan Embun Surga. Bantuan dari yayasan bukan hanya dalam bentuk materi, tapi juga pendampingan emosional yang membuatnya merasa tidak sendiri.

“Kehadiran Embun Surga ini sungguh luar biasa. Allah membantu saya lewat mereka. Tanpa Embun Surga, mungkin saya tidak bisa bicara seperti saat ini,” ujarnya dengan haru.

Setelah dinyatakan sembuh, Bu Suyatmi tidak kembali ke kehidupan lamanya sepenuhnya. Ia memilih untuk tetap tinggal di jalan perjuangan yang pernah ia lewati—kali ini bukan sebagai pasien, melainkan sebagai pendamping. Ia bergabung menjadi relawan di Embun Surga, membantu pasien kanker lain yang tengah berjuang.

“Saya tahu betul rasanya sakit, bingung urus pendaftaran, takut di rumah sakit, apalagi kalau sendirian. Makanya saya ingin menemani mereka, supaya mereka tidak merasa sepi,” ucapnya.

Bu Suyatmi kini sering turun langsung ke lapangan, mengantar pasien dengan ambulans gratis milik yayasan ke rumah sakit, bahkan ikut menunggu saat pasien sedang kemoterapi atau kontrol. Ia bukan perawat atau petugas medis, tapi kehadirannya mampu menyembuhkan hati banyak pasien.

Kadang ia mengusap kening yang panas, kadang menguatkan hati yang patah. Ia tidak menawarkan obat, tapi menawarkan kehadiran. Dan itu jauh lebih berharga dari apa pun.Ambulans gratis Embun Surga bukan sekadar kendaraan. Ia adalah jembatan antara rasa takut dan pengharapan. Dalam ruang sempit itu, seringkali terjadi percakapan paling jujur, pelukan paling tulus, dan doa-doa yang diam-diam menggema di dalam hati para pasien dan relawan.

Bu Suyatmi kerap menemani perjalanan dari Purworejo ke Jogja, kadang hingga larut malam, tanpa bayaran. Baginya, setiap perjalanan adalah ziarah jiwa. Rumah singgah pun menjadi tempat yang hangat, bukan hanya untuk pasien, tapi juga untuk para relawan yang saling menguatkan.

Pendampingan bukan soal menyuapi pasien atau menemani kontrol. Ini soal menghadirkan cinta, menyentuh sisi kemanusiaan yang paling dalam. Banyak pasien yang datang ke Embun Surga bukan hanya dalam kondisi sakit tubuh, tapi juga rapuh secara mental dan spiritual. Di situlah peran relawan menjadi cahaya.Dengan bahasa yang lembut, dengan pelukan yang sabar, mereka menanamkan kembali harapan. Dan Bu Suyatmi, dengan segala luka yang pernah ia lewati, justru menjadi sumber kekuatan bagi mereka.Bu Suyatmi bukan satu-satunya, di balik dinding Embun Surga, ada banyak relawan seperti Bu Suyatmi dan Bu Andayani. Mereka datang dari berbagai latar belakang: ibu rumah tangga, pensiunan, hingga mahasiswa. Mereka hadir bukan karena mampu secara finansial, tapi karena kaya akan empati.

Di dunia yang semakin hiruk, menjadi pendamping pasien kanker adalah tindakan sunyi yang luar biasa. Mereka tidak tampil di layar televisi, tapi nama mereka disebut dalam doa-doa pasien yang merasa dicintai.Kisah Bu Suyatmi adalah bukti bahwa luka tidak selalu menjadi akhir. Ia bisa menjadi awal dari pengabdian. Ia bisa melahirkan cinta yang lebih luas, yang tak lagi terbatas oleh ikatan darah.

Jika kamu hari ini sedang bertanya-tanya, apa arti hidup ini, mungkin jawabannya ada di wajah-wajah yang sedang berjuang di rumah sakit. Mungkin ia ada di kursi roda yang didorong dengan penuh kasih. Atau di tangan seorang ibu yang dengan sabar menyuapi pasien lansia.Embun Surga membuka ruang bagi siapa pun untuk menjadi bagian dari gerakan cinta ini. Entah itu dengan menjadi relawan pendamping, menyumbang untuk biaya operasional ambulans, atau sekadar datang dan menyapa pasien di rumah singgah.

Karena seperti kata Bu Suyatmi:

“Saat kita bisa berbagi, kita sedang menciptakan makna. Dan makna itulah yang akan membuat hidup kita tetap hidup, bahkan setelah kita tiada.”


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *