Kisah Adik Bagus dari Purworejo bersama Ibunda di Jalan Sunyi Menuju Sembuh dari Kanker

Di ujung senyap sebuah dusun kecil di Purworejo, matahari pagi menyentuh lembut atap-atap rumah yang bersahaja. Di antara desir angin dan suara burung yang memanggil pagi, terselip kisah tentang seorang anak lelaki bernama Bagus pejuang kecil yang tengah berperang dalam diam, melawan penyakit yang mencuri canda dan geraknya: kanker tulang.
Bagus bukan hanya nama, melainkan doa. Sebuah harapan yang sejak awal dititipkan ibunya, Bu Desi, pada hidup yang sederhana namun penuh kasih. Ia tak meminta dunia, hanya sedikit ruang untuk tumbuh, berlari, dan sesekali menari bersama angin. Namun takdir punya rencana lain, dan tubuh kecil itu harus merunduk di hadapan rasa sakit yang tak mampu ia mengerti.
Sejak vonis itu datang, hidup mereka berubah. Tak ada lagi hari biasa. Rumah sakit menjadi rumah kedua, dan perjalanan ke RSUP Sardjito Yogyakarta menjadi rutinitas yang membekas luka sekaligus harap.
Bu Desi adalah bayang yang setia menyertai langkah anaknya. Seorang ibu yang tak henti menambal kekuatan dengan doa dan pelukan. Setiap perjalanan dari Purworejo ke Yogyakarta adalah ujian batin dan materi. Jarak itu bukan hanya kilometer, tapi juga ratusan ribu rupiah yang harus disiapkan setiap kali kaki melangkah.
Mobil sewaan menjadi satu-satunya pilihan. Biaya yang mencapai 500 hingga 600 ribu rupiah per sekali jalan menggerus tabungan sedikit demi sedikit. Tapi cinta ibu tak pernah berkurang, meski kantong semakin tipis dan tubuhnya ringkih oleh lelah.
“Kalau tidak saya yang antar, siapa lagi?” tutur Bu Desi suatu kali, menahan air mata yang nyaris jatuh, “Anak saya butuh saya. Sakitnya dia, sakitnya saya juga.”
Dan memang benar, cinta seorang ibu adalah kekuatan yang melampaui logika. Ia akan berjalan meski lututnya bergetar, ia akan tersenyum meski hatinya mengaduh.
Dalam keheningan perjuangan itu, hadir sebaris cahaya yang mengusap peluh dan air mata. Yayasan Embun Surga Purworejo datang, bukan dengan gemuruh, tapi dengan langkah yang pelan namun pasti. Mereka tak menjanjikan langit tanpa mendung, tapi menawarkan payung yang hangat di tengah hujan penderitaan.
Salah satu bantuan yang paling berarti adalah ambulans gratis. Bukan sekadar kendaraan, tapi ruang kecil yang memuat harapan, mengantar Bagus dan ibunya menjemput sehat tanpa harus menanggung beban ongkos.
“Saya sangat terbantu dengan adanya ambulans ini,” ucap Bu Desi dengan suara yang lirih namun penuh makna. “Biaya yang dulu harus dikeluarkan sangat besar, tapi sekarang, alhamdulillah ada yang membantu.”
Kini, perjalanan ke Yogyakarta tak lagi dibayangi kecemasan. Ambulans dari yayasan bukan hanya sarana transportasi, tapi juga simbol dari cinta yang hadir dalam bentuk nyata. Para relawan yang mengantar tak hanya mengemudi, mereka juga membawa serta senyum dan semangat.

Hari-hari belum menjadi lebih mudah. Rasa sakit masih menghuni tubuh Bagus, dan masa depan masih buram. Tapi dalam setiap tatapan mata anak itu, kini terselip keberanian. Dalam pelukan ibunya, tersimpan keyakinan bahwa badai akan lewat.
Bagus sudah tak bisa lagi bermain bebas seperti anak-anak lain. Tapi ia tetap tertawa, meski sedikit. Terkadang, di sela-sela perawatan, ia menggambar. Tangannya masih lemah, tapi imajinasinya kuat. Ia menggambar langit, rumah, dan mobil ambulans berwarna putih dengan lambang Embun Surga di sampingnya.
“Mau ke Yogya lagi?” tanya Bu Desi suatu hari.
Bagus hanya mengangguk pelan, lalu berkata, “Tapi sekarang nggak bayar, kan, Bu? Ambulans yayasan enak, nggak bikin capek.”
Dan dari bibir kecil itu, senyum yang dulu redup kini perlahan menyala kembali.
Yayasan Embun Surga Purworejo bukanlah lembaga besar dengan gedung mewah dan dana melimpah. Tapi mereka memiliki sesuatu yang lebih bernilai: hati. Di balik nama yang puitis itu, tersembunyi ratusan kisah perjuangan yang diselimuti cinta.
Para relawan bekerja tanpa pamrih, mengantar pasien dari rumah ke rumah sakit, mendampingi keluarga yang kebingungan, bahkan sekadar menemani mereka yang merasa sendirian. Mereka adalah pelipur dalam sunyi, penyambung dalam patah harapan.
Setiap tetes bensin ambulans, setiap obat yang dibelikan, setiap senyum yang diberikan semuanya berasal dari kebaikan para donatur dan teman-teman yang peduli. Mereka mungkin tak pernah bertemu Bagus, tapi mereka percaya bahwa membantu sesama adalah jalan menuju kemanusiaan yang utuh.
Kisah Bagus bukan satu-satunya. Di luar sana, banyak anak lain yang juga sedang meniti jalan sunyi melawan penyakit. Banyak ibu lain yang menggenggam tangan kecil penuh infus, sambil menahan tangis di pojok rumah sakit.
Tapi harapan itu tetap ada. Dan harapan itu butuh kita semua.
Yayasan Embun Surga membuka tangan, menyambut siapa saja yang ingin ikut menjadi bagian dari perjuangan ini. Tak harus besar, karena bahkan sekecil apapun bantuan adalah pelita dalam gelap.
Melalui rekening donasi yang tersedia, Anda bisa menjadi bagian dari perjalanan Bagus dan anak-anak lain menuju sembuh. Karena sesungguhnya, saat kita memberi, kita juga sedang menerima: rasa syukur yang tulus, cinta yang tumbuh, dan iman pada kemanusiaan yang tak lekang oleh waktu.
Di malam-malam yang sunyi, Bu Desi sering duduk di samping tempat tidur anaknya, membelai rambut Bagus yang mulai rontok karena pengobatan. Ia tak tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi ia percaya, bahwa selama cinta masih ada, perjuangan akan terus hidup.
Yayasan Embun Surga adalah bukti bahwa cinta itu nyata, bahwa di dunia yang penuh hiruk-pikuk ini, masih ada mereka yang memilih untuk berjalan pelan bersama yang lemah, menuntun mereka menuju cahaya.
Mari kita tutup kisah ini bukan dengan akhir, tapi dengan awal dari langkah kebaikan. Karena setiap sumbangan adalah doa, dan setiap doa adalah harapan yang menguatkan.
Rekening Donasi:
BRI 685201002390503
a.n Yayasan Embun Surga Purworejo
0 Komentar